Setelah malam pertama yang begitu intens dan mendadak, aku pikir semua bakal kembali normal. Ya, balik ke suasana kantor yang kaku, balik jadi rekan kerja yang biasa aja. Tapi ternyata… dia beda.
Besoknya jam kerja, dia malah makin berani. Tatapannya setiap kita berpapasan bikin jantung aku deg-degan. Senyum manisnya, lirikan matanya dari balik monitor, bahkan ketika kami ketemu di pantry, dia sempat bisik, “Malam ini… kamu kosong lagi nggak?”
Aku nggak bisa bohong. Waktu itu langsung hangus semua logika. Dan malam pun tiba lagi.
Kali ini dia datang lebih siap.
Nggak seperti kemarin yang masih pakai sisa outfit kerja, malam ini dia muncul dengan dress merah menyala, bahannya satin, membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Potongan dada V-neck-nya dalam banget, nyaris menyentuh perut. Punggungnya terbuka total, dan ada belahan panjang di pahanya sampai ke atas lutut.
Satu kata waktu aku buka pintu kamar hotel: syok.
Dia senyum, masuk pelan-pelan, dan duduk di ujung ranjang sambil melepaskan heels-nya satu per satu. Kakinya mulus banget.
“Aku capek hari ini. Tapi capeknya pengen dibalas dengan manja,” katanya dengan nada yang… gila sih. Bikin otak aku langsung nge-blank.
“Foto aku ya… Tapi jangan yang biasa.”
Dia ngeluarin HP dari tasnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku cuma senyum dan mulai motret.
Pose pertama dia duduk bersandar di bantal, rambutnya dibiarkan jatuh ke satu sisi, menutupi sebagian dada. Dress-nya turun sedikit, menyisakan bahu dan belahan yang dalam.
Pose kedua, dia menghadap kaca besar di samping ranjang, berdiri dengan tangan memegang rambutnya ke atas — memperlihatkan siluet punggungnya yang terbuka penuh.
Lalu dia berbalik, melet sambil duduk menyamping. Bantal dia peluk di dada, dan dress-nya turun setengah. Nafasku mulai berat.
“Bagus nggak hasilnya?” tanyanya sambil mendekat.
Aku jawab pelan, “Nggak tau yang lebih menggoda… kamu atau dress-nya.”
Waktu berjalan lambat malam itu.
Kami ngobrol lama, cerita banyak hal, tapi semuanya dibalut dengan suasana penuh hasrat. Ada momen dia minta dibelai rambutnya, ada momen dia tiduran di bahuku sambil mainin jari aku.
Dan tanpa sadar, tangannya udah mulai turun pelan ke arah pinggangku.
Dress merah itu… entah kenapa jadi simbol yang tak bisa aku lupakan. Dia tahu dia cantik. Dia tahu dia menggoda. Tapi di balik itu semua, dia juga tahu gimana cara bikin laki-laki seperti aku merasa spesial — tanpa harus banyak kata.
Kita cuma saling senyum. Seolah-olah tak ada apa-apa. Tapi di balik layar, kita udah bikin janji lagi buat malam minggu.
Katanya sih, dia punya satu set pakaian tidur transparan warna hitam yang belum pernah dipakai ke siapa-siapa.
Dan katanya lagi… dia cuma mau pakai itu di depanku